Tangan Penawar Luka

Arfiana Maulina
2 min readMay 18, 2021

--

Dilema perdebatan dan perbudakan hati menjadi rintangan bagi siapapun yang berlabuh. Ketika memori buruk terkenang secara hebat mengalahkan memori indah tersimpan bekas luka dalam batin yang membawaku ke cerita saat aku berhasil menjadi diriku sendiri di tengah lingkungan racun tanpa penawar. “Lebay”, “Alay” bukanlah sebuah kata tak bernyawa namun ditelingaku bagai hinaan tak bermoral. Namun berkat rintangan itu dan berbagai luka tanpa fisik yang membekas dihati ketika aku di kunci dalam sebuah kelas dan ditakuti serta ketika aku diseret ke kamar mandi dan berbagai perlakuan lainnya yang dilakukan oleh anak yang saat itu lebih pintar dariku namun sayang tidak memiliki moral.

Kala itu, Tuhan memberkatiku dengan rupa jelita yang membawaku ke perubahan luar biasa. Aku, sosok yang dahulu ditindas perlahan bangkit dan menunjukkan dirinya ditengah gelapnya malam. Aku, berjuang tak kenal lelah siang maupun malam demi mengikuti berbagai ajang pencarian.

Suatu hari aku hanya ingin menjadi manusia selayaknya diusiaku yang belia, manusia normal yang sekolah lalu pulang seolah tanpa beban. Justru aku mendapatkan rintangan racun dari seseorang yang membuatku trauma terhadap hubungan.

Walau rupaku tak sejelita kala itu, aku tetap mencintai diriku yang saat ini telah menancapkan bendera tanda pencapaian besar di sebuah titik awal perjuangan baru.

Perjuangan baru ini kita sebut tanggung jawab sebagai perantara tangan Tuhan dan tanggung jawab kepada tangan-tangan manusia yang menjabat tangan yang terlihat hampa namun diisi oleh cahaya mentari seakan tangan itu membentu sebuah mangkuk.

Dikala aku memijak diatas kaki ku sendiri, aku melihat berbagai macam manusia diluar sana dan perbedaan signifikan ketika aku tinggal di Jakarta melihat betapa gemerlapnya kota Jakarta dari ketinggian namun ia terlihat menyedihkan dari bawah. Gemerlap cahayanya bagaikan kekuatan yang bahkan tak bisa mencapai lindungan kolong jembatan yang kutemukan.

Dibalik senyum yang bersinar, siapa sangka hatiku sempat sepi karena menggaungkan keinginan menjadi seperti mereka yang mendambakan seseorang. Namun, Tuhan menjawabku dengan jawaban yang bijak. Akupun segera kembali menjadi wanita independen.

Aku bukanlah robot, melainkan sedang bertugas menjadi perantara manusia dengan pikiran yang diberikan Tuhan. Suatu saat Tuhan menyiapkan sesuatu yang luar biasa kepadaku. Hidup itu pilihan kata orang, bagiku hidup selain pilihan adalah tanggung jawab dibalik pilihan yang telah kau buat.

Waktu tak bisa mengerjakan pekerjaanmu hingga selesai, tapi kamulah yang mengerjakan dalam ruang waktu hingga selesai. Jika waktu habis, jangan salahkan waktu yang berdetik 24 jam tetapi memang wajar hidup ini tak bisa menyelesaikan semua dalam 24 jam. karena waktu bukan soal angka, tapi soal bagaimana mengatur hidup.

--

--

Arfiana Maulina

18 | Marketing Enthusiast / Educational Content Creator @arfianamaulinaa