Aku, Anak Jalanan

Arfiana Maulina
2 min readAug 6, 2020

--

Banyak gelar tak berisi bagai pasir yang berbobot namun kandas terbawa air. Teknologi yang mengambil peran selama pandemi membuat kita sadar bahwa dunia itu tidak seluas satuan jarak ukur yang selama ini ada di atlas atau pelajaran Geografi. Apa yang kita cari? Itu tujuan kita kawan. Kalau kita kejar sertifikat kita hanya berorientasi pada hasil yang memang tidak salah tapi apa tidak malu? Kalau kita kejar ilmu sertifikat bukan menjadi kertas tapi menjadi ukur kehidupan kita, sertifikat menjadi lebih bermakna, sertifikat menjadi kenangan indah. Kalau aku keluar dari pandemi ini, suatu saat nanti aku menghirup udara Jakarta dan kopi di Jalan Sabang yang aku nantikan. Aku yakin bukan pribadi yang sama seperti pertama kali aku kesana bisa jadi aku melihatnya dengan pandangan lain karena teknologi yang aku bawa di otakku, aku serap, aku hisap habis tapi aku yakin aku bahagia walaupun dengan persepektif yang berbeda. Satu kata yang dapat mendeklarasikan perasaan yang dipenjarai memori dan kondisi saat ini ‘cinta’, Aku terlanjur mencintai kesendirian ditemani jalanan yang padat namun tetap indah di mataku. Hidup itu pilihan, pikiranmu pilihan mau jadi subjektif atau objektif, mau melahirkan atau aborsi, mau hidup atau meninggal itu pilihan, semua pilihan tapi yang harus kita ingat sebagai manusia kita punya otak dan naluri, kita punya hati, kita punya samping untuk memandang atau coba kita pikir baik-baik kenapa mata kita tidak 360 derajat alias ke belakang, lucu dong ya kalau kita bia melihat isi tubuh haha. Tapi setidaknya sang Maha Adil menciptakan kita bisa melihat ke belakang walaupun harus membalikkan badan 360 derajat. Di saat itu kamu bisa lihat langkah yang kamu tinggalkan dan ketika kamu membalikkan badan kamu bisa melihat langkah kedepan sama seperti aku yang selalu berjalan kaki dengan Transjakarta mengelilingi Jakarta atau ikut bis gratis untuk keliling Jakarta. Wah gabut sih. Apalagi kalau bawa 200 ribu rasanya gak cukup langsung kandas antara ngopi atau beli-beli. Bicara soal Jalan Sudirman yang menyenangkan bagi jiwa-jiwa perfeksionis jalanan rapi kiri-kanan dan gedung-gedung tinggi, halte yang diperbarui, belok kiri udah Kuningan putar balik Bundaran HI ujung-ujungnya Bekasi alias planet lain haha. Ya mau gimana lagi filosofi rumah, sejelek-jeleknya tempat kita bisa bernaung. Kalau udah jam 7 di Stasiun Sudirman, udah sepi tapi isi keretanya rame. Jam 10 yang namanya Jalan Sudirman udah sepi, dingin, apalagi TransJakartanya tapi aman sejauh ini haha. Di antara Senayan, Grand Indonesia cuma Ratu Plaza yang lumayan ramah di kantong terlebih ada Lotte yang bisa mampir buat makan karena lumayan sulit cari warung makan apa gue yang gatau sih kayaknya. Tulisan ini sudah tidak ada arahnya, sama kaya gelar yang sekarang bisa diraih seenaknya kaya beli kacang goreng tapi implementasinya tidak ada

--

--

Arfiana Maulina
Arfiana Maulina

Written by Arfiana Maulina

Marketing | Sustainability | Content Creator @arfianamaulina

No responses yet